Land Koeripan dalam Kenangan: Menelusuri Kembali Jejak Terserak, Toponimi dan Peristiwa Lampau di Land Koeripan Ciseeng Bogor

Ilustrasi. Land Koeripan dalam kenangan. (Unsplash.com/Ekko Puji) ||



“Dikarang sair moela pertama/ Sair tjerita Njaie Dasima/ Belon ada sebrapa lama/ Di Kampoeng Koeripan dia beroema.”

 

Disusun oleh: 

Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

 

NAMA KOERIPAN MELEGENDA DALAM KISAH “NYAI DASIMA” 

Bila tidak ada novelet Tjerita Njai Dasima, mungkin nama Koeripan (Kuripan) di Ciseeng tidak akan banyak dikenal orang. Meskipun dalam dokumentasi Belanda banyak tercatat nama Koeripan atau Land Koeripan atau Landhuis Koeripan atau Onderneming Koeripan, tentu saja akan sulit memahaminya sebab dokumen itu dalam bahasa Belanda. 

Pada 1896, Gisjbert Francis menerbitkan novelet yang diberi judul Tjerita Njai Dasima. Setelah itu, novel ini disadur ke dalam bentuk syair oleh Lie Kim Hoek dan O.S. Tjiang. Sedangkan A.Th. Manusama menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda pada 1926. Lalu, cerita ini muncul sebagai bacaan anak-anak pada 1965 sebagai cerita Betawi. S.M. Ardan menjadikannya sebagai naskah drama.

Meski sebagian pihak menganggap bahwa cerita itu hanya sekedar novel, tetapi pihak lainnya dengan yakin menganggap cerita itu memiliki kebenaran faktual. Ketika beberapa orang menganggap bahwa cerita itu hanyalah karangan penulisnya –bahkan dikatakan bernada sentimen terhadap pribumi—maka pihak lainnya bersikukuh bahwa kisah itu adalah faktual.

Baca juga: Gak Habis Pikir! Gelandangan Kota Bogor Ini Ternyata Punya Cek Rp1,3 Miliar, Diduga ODGJ

Ada beberapa indikator yang menguatkan bahwa cerita itu nyata. Pertama, lokasi kisah itu disebutkan dengan jelas yaitu di Curug (Tangerang) dan Batavia (Jakarta). Nama Kuripan disebut sebagai asal Njai Dasima. Kedua, nama sosok pelakunya juga disebutkan dengan jelas, ada Nyai Dasima, ada Tuan Edward Williams. Ketiga, titi mangsa peristiwanya disebutkan juga dengan akurat, yaitu 1813.

Cyril William Watson1, menulis demikian: 

“The syair form follows a very strict pattern consisting of a four-line, four word (pronotms, prepositions and conjunctions not counting as full words) rhyme scheme a, a, a, a. The lines are end stopped and there is usually a caesura after the second word. Here is an example from Sair Tjerita Njaie Dasima (first edition 1897). 

        Dikarang sair moela pertama, 

        Sair tjerita Njaie Dasima, 

        Belon ada sebrapa lama, 

        Di Kampoeng Koeripan dia beroema.” 

 (And now the syair is begun/ the syair which tells the tale of Njai Dasima/ who not so long ago/ lived in Kampung Kuripan) 

Baca juga: Jembatan Otista Direvitalisasi, Ini Rute Terbaru Angkot di Kota Bogor Beserta Trayeknya

Bahkan, dalam naskah Terita Njai Desima oleh Gisjbert Francis itu dengan jelas dituliskan nama tempat Koeripan (Kuripan), sebagai berikut: “Maka itoe saja minta bertjere, saja moe poelang ka saja poenja kampoeng di Koeripan …..”

Bila cerita ini memang benar-benar terjadi pada 1813, itu artinya pada masa Inggris tengah menguasai Nusantara. Ketika Belanda ditaklukkan oleh Inggris (1811-1816), maka selama lima tahun, kawasan Batavia –sebagai pusat pemerintahan—juga Koeripan di bawah pendudukan Inggris. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Land Koeripan pun setelah itu dikuasai oleh orang-orang Inggris. 


Baca juga: Viral Macet Horor di Puncak Bogor yang Bikin Pengendara Tertahan Berjam-jam, Penyebabnya Terungkap

SEBUAH PERTANYAAN MENGGELITIK DARI PATER ADOLF J. HEUKEN, S.J. 

Adalah Pater Adolf J. Heuken, S.J., rohaniawan Katolik dari Ordo Serikat Yesus (Society of Jesus) yang juga dikenal sebagai seorang Sejarawan, telah mengingatkan kita akan satu nama dan satu tempat yang memiliki kaitan erat bahkan menjadi pelaku sejarah di Koeripan atau Ciseeng.

Pastor Katolik kelahiran Jerman itu mempertanyakan mengenai sosok yang terkubur dalam makam di Landhuis Koeripan, yaitu William Menzils. Menurut penulis Sejarah Kota Jakarta tersebut, dia sangat terkesan dengan arsip-arsip Eropa, sebab bisa dilacak hingga jauh ke belakang. Dia menulis: 

“I am always astonished that in European archives, persons and events from a long time ago can be traced back' he writes. He wonders if information on civilians is as comprehensive. 'In the yard of the country-house of Ciseeng/Koeripan between Jakarta and Bogor I recognised a tombstone of an English family of William Menzils. He may have owned the estate after the time of Sir Stamford Raffles (1811-1816).”2 

Dr. Rosie Llewellyn-Jones, sebagai editor Bulletin Chowkidar yang menerbitkan tulisan tersebeut memberikan pertanyaan balik, apakah sebegitu pentingnya nama (William Menzils) yang disebutkan oleh Pater Adolf J. Heuken, S.J. tersebut?

Menurut penulis, pernyataan itu sangat penting dan mennggambarkan kualitas Pater Heuken sendiri. Meskipun tinggal di Jakarta, Pater Heuken memahami sejarah kawasan sekitarnya dengan baik. Tidak setiap orang dapat mengetahui informasi semacam ini. Pastilah Pater Heukeun telah banyak menelaah sumber-sumber Belanda dalam bahasa aslinya.

Menurut telusur penulis sendiri, nama Williams Menzils (William adalah nama depan suami, Menzils adalah nama belakang/marga istri) itu tidak lain adalah nama ayah dari William Frederik Mooijart-Dennison alias Wiliam Frederich Mooijardt-Dennison disingkat W.F.M. Dennison. William dilahirkan pada 29 Agustus 1823 di Pekalongan. William sendiri wafat dalam usia 65 tahun pada 7 November 1888. 

Berdasarkan sumber yang dipegang oleh penulis, ayah William, yaitu William Dennison dilahirkan di Pontefract, Yorkshire (Inggris) pada 15 Januari 1789 dan besar di Cirebon, di daerah Sindang Laut. Dia tiba di Jawa pada 1810 dan menjadi seorang tenaga kesehatan (dokter). William Dennison menikah dengan Antonia Theodora Cornelia Hillegonda pada 1820 di Batavia. Leluhurnya ada yang berasal dari Ceylon (Srilangka). 

Setelah William Menzils, Landhuis Koeripan kemudian ditempati oleh keluarga Pastur Charles Olke van der Plas dari 1846 hingga 1908. Ketika pensiun, Pastur Charles kembali ke Belanda, sedangkan putranya Charles Olke van der Plas Jr. tetap tinggal di Koeripan (15 Mei 1891 - 7 Juni 1977). Karena pendidikan dan karirnya, Dr. Charles Olke van der Plas tidak tinggal di Landhuis Koeripan lagi sejak 1924. 

Pertanyaan penulis, mengingat posisi William Menzils sebagai Landraad alias Tuan Tanah di Koeripan, apakah bukan dia yang dimaksud Gisjbert Francis sebagai Edward Williams dalam noveletnya, Tjerita Njai Dasima itu? Sebab, bila diperkirakan kisah sebenarnya Njai Dasima adalah 1813, maka William Menzils ini satu masa dan yang menjadi tuan tanah pada masa itu. 

 

 

PEMBAGIAN LAHAN PERKEBUNAN: ONDERNEMING KOERIPAN 

Berdasarkan informasi dari Bulletin Bataviasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen; Redactie: P. Bleeker, J. Munnich en E. Netscher. Batavia: Lange & Co. p. 234, pada 15 November 1809 terjadi penjualan lahan-lahan partikelir, dari swasta ke pemerintah. Itu sejak VOC gulung tikar pada 1799 alias sembilan tahun sejak Landhuis Koeripan mulai dibuka.

        Sumber Belanda menyebutkan demikian: 

“De openbare verkoop van 's lands domeinen begon in maart 1809, door den verkoop der landen, behoorende tot het ingetrokken regentschap Tangeran, bewesten Batavia op de grens van Bantam. Dit gedeelte land werd den 15 november 1809 bij percelen opgeveild, als de bazar Tangeran, het land Grinding in drie gedeelten, het land Sading, de distrikten Medan, Krangan, Kademangan, Tjilitran, Lengkong, Djampang-ilier, Salabantar, Kaloerahan, Djampang-oedik, Penjabrahan en Koeripan.”3 

Landgoed Koeripan mulai dikelola lagi dengan serius oleh keluarga Pastur Charles Olke van der Plas dari 1846-1908. Pada masa itu, penanaman padi (paddy), perkebunan kelapa (kokosnoot), kopi (koffie), karet (rubber), bahkan opium ditanam di Landgoed Koeripan. Meskipun untuk opium ada resistensi dari penguasa Land Koeripan, akhirnya pemerintah menanam opium di tanah perbatasan antara Land Koeripan dengan Land Tangerang.

 Nama Robert Raaffii Purvis (28 Desember 1823 – 23 Mei 1891) tercatat sebagai administratur dari perkebunan teh, kopi dan padi di Landgoed Koeripan pada 1883. Selama empat tahun, Purvis mengelola perkebunan di Koeripan sebelum akhirnya pindah ke Batavia (Jakarta) sebagai makelar komoditas perdagangan dan kembali ke Inggris, 1891.4 

Catatan Belanda, seperti ditulis oleh J.F. Scheltema menyebutkan demikian:

 “The case of Koeripan being a good sample of the rest, it may be given in a few words. On a certain day, without previous warning, an official of the opiunm service appeared on the scene and ordered that an opium den should be opened on the pasar, the market-place of Tji Se-eng, near the owner's residence, then occupied by the administrator. 

A protest followed immediately. The owner pointed out that among a population of 18,288 only three were known to use opium occasionally; and, as it seemed most unjustifiable to lead so many thousands into temptation simply for the sake of an easy supply to three possible customers, who might debauch all the others, he earnestly requested the government not to open an establishment for the retail sale of opium on his estate. 

This request went through the red-tape mill in the usual fashion, and after a while he was told that the government would keep his interests in mind when opening an establishment for the retail sale of opium in the district of Paroeng, as intended-no escape from the opium den! And it came. 

 Not on the pasar of Tji Se-eng or even on Koeripan (the authorities had promised to keep the interests of the land owner, if not of the native, in mind!), but on a little piece of gov ernment land, a small resenration between the private estates, exactly on the boundary. And the population of Koeripan, like the population of the other private estates around there, is now taking to opium quite nicely, quite satisfactorily for the interests of the treasury!”5

Untuk memperlancar transportasi dan pengangkutan hasil pertanian, perkebunan dan pertambanngan kapur (kalk), juga dibuat jalan-jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan atau dokar. Begitu juga, dibangun jalur kereta api (spoorweg) dan jembatan kereta api (spoorbrug) yang melintasi sungai-sungai yang banyak terdapat disana. Bahkan, rel kereta itu pun dibuat dua buah jalur!

 

 

TINGGALAN PURBAKALA DI LANDGOED KOERIPAN: DARI GUA-GUA KUNO HINGGA PATUNG BUDDHA DAN SIWA 

Jan Frederik Gerrit Brumund, dalam bukunya Bijdragen tot de kennis van het Hindoeïsme op Java menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Gunung Munara di Rumpin. Dengan kata-katanya sendiri, ia mengisahkan sebagai berikut: 

 “Thans rijden wij in den wagen van Buitenzorg tot aan het landhuis PoetoetNoetoeg, op het land Koeripan, 0.16 paal van daar, aan den Tjidani gelegen. Daar worden wij even gul en vriende lijk als door vroegere landheeren, door den heer van Koeripan ontvangen. Weldra zijn we de Tjidani overgestoken en. rijden in zijn gezelschap westelijk omtrent nog vier paal verder naar den berg Moenara, zullen daarop een heilige grot zien en in zijne nabijheid een.groep beelden. Ik bewonder de kracht der paarden, zooals ze vlug en zeker met ons de steile hellingen al hooger beklimmen. Te voet vervolgen wij nu den verderen togt, door de inlanders geholpen en ondersteund. Per ardua ad astra. 

 Eindelijk dalen wij tusschen twee ontzaggelijke rotsblokken af naar de heilige plek. Ze zal zeven of acht honderd voet boven het landhuis liggen. De effen ruimte is bijna rond, honderd schreden in omtrek, omringd door magtige rotsblokken met digt geboomte begroeid, wier wortels zich daarom hebben geslagen en die naar alle kanten overkruissen. Wel eene door de natuur afgezonderde plek, stil, statig, die het bijgeloof aanstonds heilig verklaren, een verblijf van geesten noemen moet. 

Ze is hier en daar met handjoeangs beplant, eene struikplant met langwerpige bladen, die sierlijk afhangen en door den inlander gewoonlijk op zijne bid of heilige plaatsen, ook bij graven en wellen wordt geplant. Omtrent ijl het midden liggen steenen, in den vorm van fornuizen geschikt, waarin de nog half verbrande takken en stukken hout. Daarop bereiden de bedevaartgangers hunne spijzen voor den offermaaltijd, sedeka. Nog onlangs was daar een gezelschap geweest. Nooit zal een alleen daar den nacht doorbrengen. 

Hij vreest de plek, de geesten te zeer, die hem spoorloos zouden doen verdwijnen. Ze komen er om wierook te branden, den offermaaltijd gezamenlijk te houden, hunne geloften te doen. Daarna leggen ze zich te slapen om visioenen te erlangen, te droomen van eene gelukkige toekomst of vervulling hunner wenschen. Ook ontwaken ze vaak 's nachts eensklaps door de vreemdste geluiden in de lucht, of in het bosch, opgeschrikt uit hun slaap. Vooral gaan zij er heen in de maand Moeloed. Ook begeven zich de inlanders steeds naar zulke plaatsen, als ze een opstand beramen. Hun fanatisme wordt er door opgewekt. Ze meenen dan onkwetsbaar te worden, ja maken zich diets dan bovennatuurlijke krachten te zullen krijgen.”6 

Dalam catatan Brumund itu, kita mendapati fakta, bahwa di atas Gunung Munara, Rumpin terdapat gua yang dikeramatkan dan sekelompok arca. Disana juga terdapat banyak pohon hanjuang, sama seperti di lokasi pusat Istana Pakuan Pajajaran. Daunnya yang panjang dan bergelantungan, biasanya dipakai oleh penduduk di tempat suci. Di tengah lokasi itu terdapat batu-batu yang disusun berbentuk tungku.

 Menurut Brumund, banyak penduduk asli atau pendatang yang datang ke lokasi ini untuk mendapatkan penglihatan, memimpikan masa depan, atau pemenuhan keinginan mereka. Biasanya mereka membakar dupa. Bulan yang biasanya banyak dipergunakan untuk melakukan kunjungan adalah Bulan Mulud (Rabi’ al-Awwal). Bahkan, saat mau melakukan pemberontakan, mereka juga datang ke tempat ini untuk memperoleh kekebalan dan kekuatan supranatural.

 

 

FLORA, FAUNA DAN MINERAL DI LANDGOED KOERIPAN 

Di Land Koeripan juga terdapat banyak flora, fauna dan mineral. Beberapa peneliti Botani (naturalis) pun berdatangan ke Koeripan untuk menelitinya. Bahkan, di Gunung Kapur (kalkbergen) Parung terdapat spesies yang langka di dunia Botani, yaitu Thiara (Melanoides) tuberculatae. Ini adalah sejenis kerang kecil atau remis dengan bentuk yang khas.

 T. van Benthem Jutting, dalam bukunya Non-Marine Mollusca from Fossil Horizons in Java with Special Reference to the Trinil Fauna menyebutkan: 

“In our days the species is very abundant in the whole Indo-Australian Archipelago and beyond it, ranging from the Mediterranean and East Africa, Mesopotamia, India, Burma, China, via the Malay Archipelago to Queensland. It is found at sealevel, but also in hilly country up to circa 1100 m and locally even to 2000 m (crater lake Segara Anak in Lombok). They have a predilection for running water, though stagnant waters are not avoided. Even in hot springs the species flourishes and samples were collected in the hot sodium-containing travertine springs of Koeripan (close to Buitenzorg, West Java) and in the iodine-containing springs and lakes between Soerabaja and Pasoeroean (East Java).”7

 Selain flora dan fauna, mineral juga terdapat di Land Koeripan. Gunung Kapur (kalkbergen) Koeripan telah dikenal sejak masa lalu. Setelah dikelola secara swadaya oleh tuan tanah, lokasi ini juga kemudian dikelola secara resmi oleh pemerintah Belanda. Bahkan, karena terjadi mal-administrasi, akhirnya auditor keuangan diturunkan ke lokasi ini untuk memeriksa akuntansi pembukuannya.

Selain sebagai lokasi pertambangan, sejak lama Gunung Kapur ini dimanfaatkan oleh warga lokal sebagai tempat wisata atau untuk kesehatan. Sumber air panas (belerang) menjadi alternatif untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Bulletin Tropische Natuur, dalam bab Rechelvorming bij Kalkafzetingen khusus membahas mengenai jenis kapur di lokasi ini dan perbandingannya dengan kapur di lokasi lainnya seperti di Palimanan Cirebon. Catatan itu dilengkapi dengan gambar-gambar yang menarik.

“In Koeripan echter treden nergens die felle kleuren op, welke wijzen op de aanwezigheid van wieren. Wel lagen in enkele der kommetjes klompen van groene algen, welke op het gevoel niet veel kalk omsloten, en ook treft men nog anders gekleurde algen op het vlakke gedeelte van den grooten heuvel waar de kalksteen gewonnen wordt voor de kalkbranderij, doch de hellingen der werkende bronnen zijn er zuiver wit. Het leek dus wel onwaarschijnlijk, dat dergelijke algen, ajs in het Yellowstone park, ook hier de oorzaak zouden kunnen zijn. En al kwamen er andere, minder opvallend gekleurde voor, dan zou het toch raadselachtig blijven, waarom die algen nu altijd zich langs dergelijke richels zouden rangschikken. 

 Van Heurn vertelt, dat het oppervlak, zoolang de afzetting van kalk plaats vindt, schitterend wit is, en dat waar geen aanvoer van het mineraal meer is, verschillende wieren zich vestigen. Deze kalkheuvels van Koeripan-zoo heet het particuliere land, waarop· deze heuvels voorkomen -op betrekkelijk geringen afstand van Buitenzorg en Batavia, waar ih de laatste honderd jaren steeds natuuronderzoekers werkzaam waren, moesten wel de aandacht trekken. Als resultaat van die belangstelling vinden we enkele artikelen op verschillend gebied, welke op dit terrein betrekking hebben. 

De botanist Blume: rtoemde in zijn werken verschille-nde planten, welkè daar werden ingezameld, waäronder meerdere, welke anders niet in· gebieden, op eenzeifde hoogte boven zee gelegen, voorkomen. Het waren er in het geheel, volgens een mededeeling van P. Bleeker, die de heuvels in het jaar 1844 bezocht, en wiens ~erslag daaromtrent werd gepubliceerd door Maier, een veertigtal. Zollinger bezocht deze kalkbronnen ook een paar malen; in diens opsomming van zijn herbarium-inzamelingen staat Koeripan twaalftal varens en hoogere planten als vindplaats vermeld. 

Bleeker vond er een vijftigtal soorten, waarvan een lijst in bovenbedoeld artikel werd opgenomen. In dat aantal zijn niet begrepen de kleine mossoorten en "enkele onbepaalde gramineeën". Maier's belangstelling betrof meer de samenstelling van -het bronwater. De door hem gepubliceerde cijfers vindt men ook vermeld in het groote geologische werk over Java van Verbeek en Fennema.”8 

 

 

---o0o---

 

 

*)  Selesai ditulis pada Sabtu, 1 Desember 2023 pkl. 15:41 WIB di Ruang Kerja Rektorat.

**) Penulis merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) Jakarta dan Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (PKMIF) Ambon, Maluku.

 

 

Catatan Rujukan:


1. Cyril William Watson, Sair Nona Fientje de Feniks: An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century, p. 128.


2. Bulletin Chowkidar Volume 7 Number 6 Autumn 1996, Registered Charity 273422, Editor: Dr. Rosie Llewellyn-Jones, p. 129.


3. Bulletin Bataviasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen; Redactie: P. Bleeker, J. Munnich en E. Netscher. Batavia: Lange & Co. p. 234.


4. Adriaan P. Inveltd, Vrouwelijke Indische In’tvelds (VI). Het gezin van Cornelia Louisa Intveld en William Purvis, p. vi-3.


5. J.F. Scheltema, M.A., The Opium Trade in the Dutch East Indies. II, Source: American Journal of Sociology, Sep., 1907, Vol. 13, No. 2, pp. 224-251 Published by: The University of Chicago Press.


6. Jan Frederik Gerrit Brumund, Bijdragen tot de kennis van het Hindoeïsme op Java. Batavia: Lange 1868, p. 71-72.


7. T. Van Benthem Jutting, Non Marine Mollusca from Fossil Horizons in Java with Special Reference to the Trinil Fauna, 1907, p. 130.


8. Tropische Natuur, Rechelvorming bij Kalkafzetingen, Jaargang XIL, Augustus 1923 p. 116-117

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form